Tentang masalah syirik diingat lagi dalam surah Yasin yang dibahas kali ini, dari ayat 74-76.
Tafsir Surah Yasin
Ayat 74-76
وَاتَّخَذُوا مِنْ دُونِ اللَّهِ آَلِهَةً لَعَلَّهُمْ يُنْصَرُونَ (74) لَا يَسْتَطِيعُونَ نَصْرَهُمْ وَهُمْ لَهُمْ جُنْدٌ مُحْضَرُونَ (75) فَلَا يَحْزُنْكَ قَوْلُهُمْ إِنَّا نَعْلَمُ مَا يُسِرُّونَ وَمَا يُعْلِنُونَ (76(
“Mereka mengambil sembahan-sembahan selain Allah, agar mereka mendapat pertolongan. Berhala-berhala itu tiada dapat menolong mereka; padahal berhala- berhala itu menjadi tentara yang disiapkan untuk menjaga mereka. Maka janganlah ucapan mereka menyedihkan kamu. Sesungguhnya Kami mengetahui apa yang mereka rahasiakan dan apa yang mereka nyatakan.” (QS. Yasin: 74-76)
Faedah Ayat
- Ayat ini menunjukkan kebatilan sesembahan orang musyrik yang dijadikan sesembahan selain Allah.
- Orang musyrik mengharapkan pertolongan dan syafaat dari sesembahan tersebut padahal sesembahan tersebut dalam keadaan tidak mampu untuk memenuhi permintaan mereka. Bahkan sesembahan tersebut tidak bisa menolong diri mereka sendiri. Kalau tidak bisa menolong diri sendiri, bagaimana mungkin menolong orang lain?
- Memberi pertolongan bisa terwujud jika ada dua syarat yang terpenuhi. Syarat pertama adalah yang memberi pertolongan punya kemampuan. Syarat kedua adalah apakah ingin memberikan pertolongan ataukah tidak. Sesembahan orang musyrik untuk kemampuan saja tidak punya, lantas bagaimanakah mau menolong.
- Padahal sudah disediakan berhala itu menjadi tentara untuk menjaga mereka. Lihatlah kelak pada hari kiamat, yang disembah dan yang menyembah akan saling berlepas diri. Kenapa mereka tidak meminta tolong kepada Allah yang Maha Menguasai segalanya, yang dapat mendatangkan manfaat dan menolak mudarat, yang Maha Memberi dan Maha Mencegah? Allah-lah yang dengan pasti akan memberi perlindungan dan pertolongan.
- Seorang rasul tidak boleh bersedih dengan orang-orang yang mendustakannya. Perkataan yang dimaksud di sini adalah setiap perkataan yang menjelek-jelekkan rasul dan mencela ajaran yang ia bawa.
Isti’adzah kepada Selain Allah
Allah Ta’ala berfirman,
وَأَنَّهُ كَانَ رِجَالٌ مِنَ الْإِنْسِ يَعُوذُونَ بِرِجَالٍ مِنَ الْجِنِّ فَزَادُوهُمْ رَهَقًا
“Dan bahwasanya ada beberapa orang laki-laki di antara manusia meminta perlindungan kepada beberapa laki-laki di antara jin, maka jin-jin itu menambah bagi mereka dosa dan kesalahan” (QS. Al-Jin: 6).
Ada dua tafsiran di antara para ulama mengenai ayat di atas. Sebagaimana pendapat Muqatil, maksud ayat tersebut adalah manusia menambah kesombongan pada jin dikarenakan manusia meminta perlindungan pada jin.
Tafsiran lainnya menyebutkan, jin menambah pada manusia kekeliruan dan mereka akhirnya melampaui batas. Hal ini sebagaimana pendapat Az-Zujaj. Abu ‘Ubaidah berkata, “Jin menjadikan manusia bertambah keliru dan melampaui batas”. Ibnu Qutaibah berkata, “Jin menjadikan manusia sesat”. Yang dimaksud “rohaqo” asalnya adalah ‘aib (cacat). Sehingga kadang ada yang menyebut, “Fulan memiliki rohaqo dalam agamanya (maksudnya: memiliki cacat dalam agamanya)” (Lihat Zaad Al-Masiir, 8:379).
Abul ‘Aliyah, Robi’ dan Zaid bin Aslam berkata bahwa makna rohaqo adalah takut.
Ini berarti setan malah membuat manusia menjadi takut, bukan malah bertambah tenang.
Dari Al ‘Aufi, dari Ibnu ‘Abbas, ia berkata, “Setan menambah dosa pada manusia”. Demikian pula kata Qotadah.
Mujahid berkata, “Orang kafir malah semakin melampaui batas (dalam dosa)”
As Sudi berkata, “Dahulu ada seseorang yang keluar dengan keluarganya, lalu ia melewati suatu tempat dan mampir di sana. Lalu ia berkata, “Aku berlindung dengan tuan penjaga lembah ini dari kejahatan jin yang dapat membahayakan harta, anak dan perjalananku”. As Sudi berkata, “Jika dia meminta perlindungan pada selain Allah ketika itu, maka jin akan semakin menyakitinya.” (Lihat Tafsir Al-Qur’an Al-‘Azhim, 7:394).
Yang diajarkan dalam Islam adalah ketika kita mampir di suatu tempat, mintalah perlindungan pada Allah. Khalwah binti Hakim As-Sulamiyyah berkata bahwa ia pernah mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ نَزَلَ مَنْزِلاً ثُمَّ قَالَ أَعُوذُ بِكَلِمَاتِ اللَّهِ التَّامَّاتِ مِنْ شَرِّ مَا خَلَقَ. لَمْ يَضُرُّهُ شَىْءٌ حَتَّى يَرْتَحِلَ مِنْ مَنْزِلِهِ ذَلِكَ
“Barangsiapa yang singgah di suatu tempat lantas ia mengucapkan “A’UDZU BI KALIMAATILLAHIT TAAMMAATI MIN SYARRI MAA KHOLAQ” (Aku berlindung dengan kalimat-kalimat Allah yang sempurna dari kejahatan makhluk yang diciptakanNya)”, maka tidak ada sama sekali yang dapat memudhorotkannya sampai ia berpindah dari tempat tersebut.” (HR. Muslim, no. 2708).
Istighatsah kepada Selain Allah
Ibnu Taimiyah berkata bahwa makna istighotsah adalah,
طَلَبِ الْغَوْثِ
“Meminta bantuan (pertolongan).” (Majmu’ah Al-Fatawa, 1:101). Yang dimaksud adalah meminta dihilangkan kesulitan. (Fath Al-Majid, hlm. 179 dan At-Tamhid, hlm. 175)
Istighatsah termasuk do’a. Namun do’a sifatnya lebih umum karena do’a mencakup isti’adzah (meminta perlindungan sebelum datang bencana) dan Istighatsah (meminta dihilangkan bencana). Lihat Al-Mulakhash fii Syarh Kitab At-Tauhid, hlm. 113.
Dalil-dalil berikut menunjukkan bahwa istighosah termasuk ibadah dan tidak boleh dipalingkan kepada selain Allah seperti dalam ayat,
وَلَا تَدْعُ مِنْ دُونِ اللَّهِ مَا لَا يَنْفَعُكَ وَلَا يَضُرُّكَ فَإِنْ فَعَلْتَ فَإِنَّكَ إِذًا مِنَ الظَّالِمِينَ (106) وَإِنْ يَمْسَسْكَ اللَّهُ بِضُرٍّ فَلَا كَاشِفَ لَهُ إِلَّا هُوَ وَإِنْ يُرِدْكَ بِخَيْرٍ فَلَا رَادَّ لِفَضْلِهِ يُصِيبُ بِهِ مَنْ يَشَاءُ مِنْ عِبَادِهِ وَهُوَ الْغَفُورُ الرَّحِيمُ (107)
“Dan janganlah kamu menyembah apa-apa yang tidak memberi manfaat dan tidak (pula) memberi mudharat kepadamu selain Allah; sebab jika kamu berbuat (yang demikian), itu, maka sesungguhnya kamu kalau begitu termasuk orang-orang yang zalim”. Jika Allah menimpakan sesuatu kemudharatan kepadamu, maka tidak ada yang dapat menghilangkannya kecuali Dia. Dan jika Allah menghendaki kebaikan bagi kamu, maka tak ada yang dapat menolak kurniaNya. Dia memberikan kebaikan itu kepada siapa yang dikehendaki-Nya di antara hamba-hamba-Nya dan Dia-lah Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Yunus: 106-107).
Semoga Allah menyelamatkan kita dari kesyirikan. Allahumma yassir wa a’in, Ya Allah berilah kemudahan dan pertolongan.
Referensi:
- Al-Mulakhash fii Syarh Kitab At-Tauhid. Cetakan pertama, Tahun 1422 H. Syaikh Dr. Sholih bin Fauzan bin ‘Abdullah Al-Fauzan. Penerbit Darul ‘Ashimah.
- At-Tamhid li Syarh Kitab At-Tauhid. Cetakan kedua, Tahun 1433 H. Syaikh Shalih bin ‘Abdul ‘Aziz Alu Syaikh. Penerbit Maktabah Darul Minhaj.
- Fath Al-Majid Syarh Kitab At-Tauhid. Cetakan ketujuh, Tahun 1431 H. Syaikh ‘Abdurrahman bin Hasan Alu Syaikh, Penerbit Darul Ifta’.
- Majmu’ah Al-Fatawa. Cetakan keempat, Tahun 1432 H. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah. Penerbit Darul Wafa’ dan Ibnu Hazm.
- Tafsir Al-Qur’an Al-‘Azhim. Cetakan pertama, Tahun 1431 H. Ibnu Katsir. Tahqiq: Abu Ishaq Al-Huwaini. Penerbit Dar Ibnul Jauzi.
- Tafsir As-Sa’di.Cetakan kedua, Tahun 1433 H. Syaikh ‘Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di. Penerbit Muassasah Ar-Risalah.
- Zaad Al-Masiir. Ibnul Jauzi (Al-Imam Abul Faraj Jamaluddin ‘Abdurrahman bin ‘Ali bin Muhammad Al-Jauzi Al-Qurosyi Al-Baghdadi). Penerbit Al-Maktab Al-Islami.
—
Disusun oleh: Muhammad Abduh Tuasikal, S.T., M.Sc.
Di Pesantren Darush Sholihin, 10 Jumadal Ula 1440 H (16 Januari 2019)
Artikel Rumaysho.Com